Senin, 15 Desember 2008

Tahu Sumedang Bikin Mabuk Kepayang,euy!

Pada saat tahbisan Mgr.J Pujasumarta sebagai Uskup Bandung lima bruder dari komunitas Candi dan Randusari datang untuk ikut menghadiri perayaan tersebut. Pada tanggal 15 Juli pukul 21.00 wib kami berlima berangkat menuju Bandung, dengan harapan pada pagi hari sudah sampai dan dapat beristirahat terlebih dahulu sehingga pada sore harinya sudah segar dan siap di tempat acara tahbisan. Perjalanan panjang selama kurang lebih delapan jam. akhirnya tepat pkl 05.00 pagi kami tiba di komunitas Provinsialat Ursulin - Bandung. Kami diterima dengan ramah oleh para suster kemudian diminta untuk beristirahat dan diajak untuk makan pagi bersama.Perayaan tahbisan baru akan dilaksanakan pada sore hari sehingga ada waktu yang cukup longgar. Kesempatan ini kami pergunakan untuk berkeliling melihat indahnya kota Paris Van Java sambil mengunjungi makam beberapa bruder FIC yang dimakamkan di Pandu dan Kerkhof Leuwigajah - Cimahi. Sore hari kami menuju Sasana Budaya Ganesa tempat acara tahbisan akan dilaksanakan. Tepat pukul 16.00 wib perayaan tahbisan Uskup dimulai dan berakhir hingga malam hari.

Kami sendiri kurang tahu persis berakahirnya karena begitu selesai acara misa langsung pulang kembali ke Semarang. Saat akan memasuki gebang tol Pasteur menuju Cileunyi Br. Geha menelpon Bruder Provinsial yang kebetulan ikut dalam kelompok rombongan yang lain yang masih berada di tempat acara tahbisan untuk memohon pamit dan mendahului kembali ke Semarang. Keluar dari gerbang tol Cileunyi menuju kota Sumedang kemudian berhenti sejenak untuk merasakan makanan kas kota itu yaitu tahu Sumedang. “Sabaraha Bu harga na”? tanya Br. Ogas mencoba menanyakan harganya dengan logat sunda yang ngawur! Ah… sok aja atuh mas dimakan dulu, jawab ibu penjual tahu tersebut. Lho Ingin menanyakan harganya malah diminta untuk memakannya gerutu Br. Ogas. Rasanya kok sedikit pahit yah bisik Br. Geha kepada Br. Misla. “Ah masak sih pahit, jawab Br. Misla sedikit tak percaya. Namun begitu mencoba merasakannya memang agak berbeda. Mungkin sudah basih tuh,.. timpal Br. Toslam.
Setelah selesai menikmati tahu Sumedang kemudian perjalanan dilanjutkan kembali, dengan harapan dapat menambah kekuatan sehingga perjalanan menjadi lancar. Namun tak disangka, baru beberapa menit berjalan memasuki daerah Majalengka terasa ada sesuatu yang menimpa kami, semua ngantuk. Br. Togi pun tak sempurna dalam menyetir mobilnya. “Sudah istirahat lagi saja daripada ada apa-apa di jalan karena perjalanan kita masih sangat jauh,” pinta Br. Geha penuh kekawatiran. Akhirnya mobil diparkir di sekitar tempat pengisian bahan bakar untuk beristirahat. Semua sibuk dengan dirinya sendiri untuk membuat nyaman dalam beristirahat.
Beberapa waktu kemudian Br. Toslam terjaga dari tidurnya, begitu melihat jam, tersentak kaget. Haaaaa….. sudah pukul 03.00 pagi?. Secepat kilat Br. Toslam segera membangunkan para bruder yang lain. Wuah…! Lha kok seperti ini? Bagaimana ini?, sampai Semarang jam berapa? gerutu Br. Toslam. “Lha bagaimana lagi? Kita ngantuk semua! “jawab Br. Togi santai. Saya yang malu nih! Sudah pamitan kepada Br. Provinsial untuk mendahului pulangnya, eh..malah masih di sini. Beliaunya pasti lebih dahulu sampai Semarang ,”tamhah Br. Geha. “Kalau begini jadinya, mending kita menerima tawaran dari suster untuk beristirahat terlebih dahulu, sehingga tidak tertidur disini, “kata Br. Toslam.
“Ya sudah kita lanjutkan lagi perjalanan kita. Toh sebentar lagi sudah sampai Cirebon dan tinggal menyusuri sepanjang Pantura hingga Semarang,”hibur Br. Ogas.
Perjalanan dilanjutkan kembali. Setelah kesirep sampai beberapa jam, perjalanan menjadi lancar. Akhirnya tepat pk.09.00 wib tiba di komunitas dengan selamat.*** (Komunikasi FIC Agust. 2008)

Susahnya Tak Dikenal Sesama


Beberapa tahun bertugas di luar pulau Jawa memungkinkan tidak saling mengenal antara para bruder, terlebih bruder muda dan bruder medior/senior. Pengalaman ini terjadi ketika Br.Kuncung masih bertugas di Ketapang, Kalimantan Barat. Suatu ketika Br. Kuncung berkesempatan pulang ke Jawa. Bruder Kuncung berangkat dari Ketapang naik pesawat terbang seorang diri. Ia begitu menikmati perjalanan pertamanya dengan pesawat terbang itu. Dari atas dilihatnya samar pulau Kalimantan nan hijau. Lautan membentang luas, namun dalam hati ada rasa was-was. Perasaan itu bukan karena takut pesawat jatuh, tetapi bagaimana nanti kalau sudah sampai di Semarang. Maklumlah, pengalaman ini perjalanan pertama ke kota Semarang. Jika sudah sampai di bandara Semarang, nanti naiknya angkutan apa? Dari mana? Kira-kira pukul 11.30, pesawat mendarat di Bandara A. Yani, Semarang. Br. Kuncung bergegas turun dari pesawat dan langsung menuju tempat tunggu penumpang yang baru datang (lobi kedatangan). Dia duduk termenung dan menunggu kesempatan yang baik untuk bertanya pada petugas. Tiba-tiba Br. Kuncung dikagetkan oleh kedatangan sesosok pria berbadan tinggi tegap, berjambang, dan berkacamata. Pria itu memasuki lobi kedatangan. Br. Kuncung berpikir keras
dan mengingat-ingat orang ini. Akhirnya, dia ingat bahwa orang ini adalah seorang bruder dari Jakarta. ”Tidak salah lagi. Beliau Br. Mike,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung kemudian menghampiri untuk menolong membawakan tasnya. Akan tetapi, Br. Mike menolak sambil mempercepat langkahnya. Br. Kuncung tidak putus asa. Dia tetap berjalan di belakang Br. Mike. Mengetahui kalau masih dibuntuti, langkah Br. Mike Mike semakin cepat. Sementara itu, di luar lobi terlihat Bruder Martin yang siap menjemput bruder Mike. ”Wah, kebetulan! Bruder yang ini pasti mengenalku,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung mendekati Br. Martin. Ternyata, Br. Martin juga tidak mengenalnya. Br. Kuncung bingung. ”Gimana nih? Dengan sesama sendiri tidak kenal? Maklumlah jarang bertemu,” pikir Br. Kuncung dalam hati. Sebelum mereka pergi, Br. Kuncung cepat-cepat memperkenalkan diri. ”Maaf, Der. Saya Kuncung,” kata Br. Kuncung mengawali perkenalan. ”Kuncung? Kuncung siapa?” tanya Br. Martin. ”Anak muda ini dari tadi membuntuti saya terus,” tambah Br. Mike. ”Eh, begini, Der. Saya Kuncung dari Ketapang. Saya bruder muda yang tugas di sana,” kata Br. Kuncung agak gelagapan. ”Hmm...oh....” ”Maaf, Der. Kalau bisa saya nunut. Saya baru kali ini ke Semarang,” sambung Br. Kuncung setengah berharap. ”Saya...saya mau ke bruderan,” jawab Br. Kuncung. ”Bruderan mana?” ”Yang di bawah...! Itu...Randusari.” Akhirnya dengan setengah ragu Br. Martin mempersilakan Br. Kuncung masuk ke mobilnya. Di dalam mobil, Br. Kuncung berkesempatan untuk meyakinkan diri sebagai Bruder FIC. Dia kemudian bercerita panjang lebar mengenai Ketapang dan juga para bruder yang ada di sana. Akhirnya keraguan itu mulai sirna. Br. Mike dan Br. Martin semakin yakin kalau Br. Kuncung ini adalah salah satu Bruder FIC.
Br. Kuncung sangat senang mendapat tumpangan sampai di komunitas Randusari. Di dalam hatinya Br. Kuncung berbisik, ”Terima kasih Tuhan. Mereka percaya kepadaku.” *** Br. R. Koencoro BS (komunikasi FIC Oktober 2008)

Minggu, 14 Desember 2008

Naik Kereta Api,Tut... Tut...Tut... !


Jarum jam di ruang makan Komunitas Candi menunjukkan pukul 19.30.
Tidak lama kemudian,gelas dipukul oleh petugas doa hari itu. Itu pertanda,para bruder diberi kesempatan'untuk'menyampaikan informasi.”Para bruder, terima kasih sudah boleh menginap beberapa hari di sini.Malam ini saya kembali ke Jakarta,” kata Br. Kuncung, bruder tamu dari komunitas metropolitan, yang berpamitan. ”Saya akan pergi ke Jakarta bersama Br. Kuncung malam ini,” kata Br.Marphen. Pukul 20.00, ketika Br. Kuncung dan Br. Marphen sudah siap, merekapun berangkat dengan diantar olehbeberapa bruder ke stasiun. Oleh karena waktu masih longgar, para bruder pengantar setuju untuk turut menunggu keberangkatan kedua bruder itu di peron. Ketika tiba di ruang tunggu, tampak sebuah kereta yang sudah siap berangkat. Tanpa menunggu lama, Br. Kuncung dan Br. Marphen pun naik ke salah satu gerbong. Dua bruder pengantar membawakan tas mereka ke dalam gerbong. ”Mana tempat duduknya?” tanya salah satu bruder pengantar yang sudah kepayahan karena tas bawaan yang lumayan berat. ”Itu! Nomor di sana itu!” sahut Br. Kuncung. Br. Marphen yang baru kali pertama naik kereta api, hanya mengekor di belakang. Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah duduk di tempat duduk jatah mereka. Sesaat, dua bruder itu masih sempat berbincang-bincang. ”Maaf, Mas! Anda nomor berapa?” tanya dua orang penumpang laki-laki danperempuan yang baru saja masuk. ”Di sini. Ini nomor saya,” sahut Br. Kuncung sambil mengulurkan tiketnya agar dipercaya oleh dua penumpang itu. ”Wah, Mas. Mas di gerbong 8. Ini gerbong 7. Ini tempat duduk kami,” sahut laki-laki itu dengan ramah. Sesaat Br. Kuncung memeriksa tiketnya. Benar juga! Dia harus pindah tempat duduk. Terpaksalah barang yang sudah ditata di bagasi di atas tempat duduk pun diturunkan.
Begitu sudah turun dari gerbong, mata Br. Kuncung jelalatan memeriksa gerbong-gerbong yang berderet. ”Lho, kok gerbong 8 tidak ada!” ”Kemarin beli karcis untuk tanggal berapa?” ”Ya, hari ini! Lihat! Ini tiket hari ini.” ”Jangan-jangan ada perubahan jumlah gerbong dan tiketmu harus ditukar.Br. Kuncung pun mondar-mandir dari ujung ke ujung untuk memeriksa gerbonggerbong itu. Tetap saja, gerbong 8 tidak ditemukan. Br. Marphen sejak tadi hanya diam saja sambil berjalan di belakang Br. Kuncung. Merasa belum berpengalaman naik kereta api, Br. Marphen lebih memilih untuk melihat perkembangan suasana. ”Tanya saja ke petugas di kantor itu!” ”Wah, blaik! Masa jual tiket kok tidak ada keretanya!” Br. Kuncung pun menuju ke salah satu kantor petugas kereta api. Br. Marphen, demi ingin mengetahui perkembangan selanjutnya pun ikut bergegas di belakang Br. Kuncung. Begitu sampai di hadapan seorang petugas, Br. Kuncung pun melayangkan protes kerasnya. Tanpa harus takut dan merasa benar, Br. Kuncung ingin menunjukkan bahwa pihak PT. Kereta Api Indonesia telah melakukan keteledoran. Apalagi, dia sedang diikuti Br. Marphen. Tentu saja, dia ingin menjaga gengsi. Sudah biasa naik kereta api, masa kekeliruan kecil kok tidak bisa mengatasi! Mendapatkan protes dari salah satu penumpang, petugas itu pun bergegas ke luar dari kantor dan melihat ke arah kereta api. Sesekali dia menatap ke karcis Br. Kuncung yang sedang dipegangnya. Akhirnya, dengan senyum yang dikulum, petugas itu pun berkata kepada Br. Kuncung yang masih mentheng kelek (berkacak pinggang) di hadapan petugas itu. ”Maaf, Mas. Itu kereta menuju ke Bandung. Silakan tunggu, setelah kereta itu berangkat,” kata petugas itu dengan kalem. Br. Kuncung pun melongo. Sementara Br. Marphen yang berdiri di belakangnya hanya terdiam. Dengan langkah gontai, Br. Kuncung dan Br. Marphen menuju ke arah beberapa bruder pengantar yang masih setia menunggu barangnya di bangku panjang peron. Sesampainya di hadapan para bruder, dengan perasaan malu campur geli, Br. Kuncung pun menceriterakan kejadian itu. Spontan para bruder yang lain saling memberikan tanggapan. ”Cung! Kamu itu ya kelewatan. Masa sudah biasa naik kereta api, bisa-bisanya mengalami nasib sial seperti ini.” ”Biasanya aku juga tidak seperti ini.” ”Jangan-jangan karena Marphen ikut kamu. Siapa tahu dia pembawa sial.” Makin meriahlah tertawa mereka. Beberapa saat, kereta api jurusan Bandung pun berangkat.
Kereta api jurusan Jakarta yang hendak dinaiki Br. Kuncung dan Br. Marphen pun akhirnya masuk stasiun. Setelah melihat dengan pasti bahwa gerbong dan keretanya betul, kedua bruder itu pun masuk. Setelah menunggu beberapa saat, kereta pun berangkat. Para bruder pengantar, sambil masih menahan geli, berjalan ke pintu keluar untuk pulang ke komunitas. Esok paginya, Br. Kuncung memberi kabar bahwa perjalanan lancar sampai di Jakarta. ”Hanya satu yang tidak lancar. Marphen semalaman nahan kencing di kereta karena belum berani masuk toilet. Ha...ha...ha...!” kata Br. Kuncung disertai tawa melalui pesawat telepon.*** ( Br. Y.Wahyu.B) komunikasi FIC Feb 2008

Gurami Sayang...

Sudah menjadi kebiasaan dan kegemaran bagi Br. Kolaus bahwa setiap pergi ke Jawa, entah retret,cuti,liburan ataupun mengikuti berbagai macam kegiatan kongregasi, apabila hendak kembali ke komunitasnya pasti membawa oleh-oleh. Selain itu beliau lebih senang menikmati perjalanan dengan naik kapal laut berpuluh-puluh jam dan berdesak-desakan dengan penumpang yang lainnya. Demikian juga yang dilakukannya belum lama ini. Selesai menjalani retret, Br. Kolaus tinggal di Komunitas Candi. Berhari-hari Br. Kolaus mencari berbagai macam
barang dan perbekalan lainnya untuk dibawa. Berbagai macam jenis tanaman juga dikumpulkan. Alat pertukangan dibeli untuk mengganti yang sudah aus. Tak kalah pentingnya adalah merealisasikan keinginannya yang sejak lama dipendam yaitu membawa bibit ikan gurami.”Apa tidak mabok dan lenggeklenggek ikan itu jika lama berada di kapal, Der?” kataku.”Ah, sampai di Kalimantan paling juga mati?” sahut bruderku.”Lama ada di kapal, bisa-bisa ikan beranak-pinak, tu?” tambah bruder lain.”Ah, tidak. Lha wong sudah saya masukkan dalam jerigen terbuka, sehingga angin leluasa masuk. Sudah saya beri daun pepaya, sehingga tetap teduh,” kata Br. Kolaus meyakinkan para bruder yang mengejeknya. Tibalah waktu bagi Br. Kolaus meninggalkan Jawa. Saya dan dua bruder mengantar sampai di Pelabuhan Tanjung Mas. Sambil menunggu kapal merapat, kami pun saling berbagi pengalaman. Setelah sekian waktu menunggu, akhirnya pada pukul 20.00, kapal yang akan di tumpangi merapat di dermaga. Kami merangsek masuk pintu menuju ke kapal dengan membawakan barang-barang bawaan. Barang-barang yang dibawa memang luar biasa banyak, sehingga perlu tenaga ekstra untukmembawa dan mengangkat ke kapal itu. Beberapa hari kemudian, Br.Kolaus menginformasikan via telepon kalau sudah tiba di Komunitas Ketapang dengan selamat. Demikian juga bibit gurami yang dibawanya masih utuh, segar, dan sehat. Rasa puas dan bahagia merasuk dalam diri Br. Kolaus. Citacita untuk beternak ikan gurami yang didatangkan jauh-jauh dari Jawa akan segera terwujud. Ceritanya selesai? Ternyata tidak! Seorang bruder yang tinggal satu komunitas dengan Br. Kolaus gantian datang ke Semarang. Bruder ini akan mengurus keperluan lain. Di sela-sela ceritanya, muncullah cerita tentang ikan gurami yang hendak dipelihara Br. Kolaus. Kekuatan untuk bertahan hidup daribibit ikan gurami tersebut masih perlu diuji, mengingat perjalanan sampai ke komunitasnya masih jauh, terjal dan banyak tantangan. Maklumlah, Br. Kolaus tidak tinggal di komunitas kota, melainkan di daerah pedalaman, tepatnya di Tumbang Titi. Perjalanan yang membutuhkan waktu berjam-jam dari Ketapang ke Tumbang Titi ternyata mengurangi daya tahan bibit ikan yang dibawanya. Hal yang dikawatirkan oleh para bruder benar-benar terjadi. Sesaat setelah sampai di komunitas, bibit ikan gurami tersebut sudah kelihatan loyo seakan tak berdaya menghadapi alam Kalimantan. Merasa sudah tidak mungkin lagi untuk diselamatkan, ikan-ikan yang masih muda tersebut segera dipindahkan ke dapur. Dengan sedih, Br. Kolaus merelakan karyawan dapur untuk menggoreng dan dijadikan menu makan siang. Saat makan siang telah tiba. Para bruder anggota komunitas pun sudah mulai berdatangan dari tempat tugasnya di sekolah. Mengetahui ada menu makanan yang berbeda dari biasanya, mereka bergegas menyantapnya. ”Wuah, gurih amat ikannya. Ini pasti oleh-oleh dari Jawa,” komentar seorang bruder. ”Kalau tiap hari menunya seperti ini,senang saya,” tambah bruder yang lain. Tak pernah tahu apa yang berkecamuk di benak dan hati Br. Kolaus. Barangkali sedih karena cita-citanya tidak kesampaian. Sedih karena tak ada bela rasa dari sesama bruder. Atau sedih campur gembira sedikit, karena bruder sekomunitasnya merasa sangat diperhatikan. Membahagiakan sesama bruder. Itulah tujuan semula, meski tak sesuai dengan harapan. Jika bibit ikan itu bisa hidup dan nanti berkembang, hasilnya pun akan menggembirkan sesamanya. Jika sekarang bibit ikan itu gagal dipelihara dan langsung digoreng, itu pun juga telah menggembirakan sesamanya. Oh, ikan, ikan... Begitulah yang namanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Diperlukan perjuangan yang terkadang banyak mengalami hambatan, kesulitan, dan bahkan kegagalan. Bagi Br. Kolaus, yang terpenting adalah mencoba dan terus mencoba tanpa kenal lelah. Mungkin, tahun mendatang, beliau akan membawa
bibit ikan lagi.... *** ( Dimuat di majalah komunikasi FIC Desember 2007)

Dibalik Dinding Biara

Judul Buku : Membangun Hidup Religius yang Damai dan Sejahtera
Penulis : Br. Theo Riyanto FIC dan
Br. Martin Handoko FIC
Penerbit : Kanisius,2008
Tebal : 140 halaman


Dalam kehidupan bersama, ada banyak hal yang mendukung dan menghalangi pembangunan kehidupan bersama yang harmonis. Kelemahan dan sifat negatif tentu akan menjadi penghalang.Sementara kelebihan dan sifat positif akan mendukung upaya membangun hidup yang harmonis. Akan selalu ada hambatan namun juga akan selalu ada hal-hal yang memperlancar pencapaian kedamaian dan kesejahteraan. Masalah selalu timbul lantaran dalam hidup bersama terdapat kepribadian yang berbeda-beda. Namun, pasti selalu ada solusi. Penghargaan dan penghormatan pada perbedaan, menjadi solusi dalam mengatasi segala persoalan yang ada, terutama permasalahan yang timbul dalam relasi dan komunikasi.
Hidup damai dan sejahtera merupakan dambaan setiap insan, tak terkecuali kaum religius. Sayangnya hidup damai dan sejahtera itu kadang hanya menjadi dambaan di awang-awang. Tekanan batin,stress,konflik,dengan rekan sekomunitas,dan sederet derita yang lain, tidak jarang mewarnai hidup religius. Di balik dinding-dinding biara yang terkesan lepas dari segala pergulatan duniawi, tidak menjadi jaminan memperoleh hidup yang penuh kedamaian dan kesejahteraaan.
Buku ini memuat kiat-kiat membangun hidup damai dan sejahtera. Damai dan sejahtera tidak jatuh dari langit, tetapi merupakan pilihan dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Melalui buku ini membantu kaum religius agar semakin memahami dan mengusahakan hidup yang damai dan sejahtera.
Bagi yang tidak termasuk kaum religius, dengan membacabuku ini, akan semakin mengerti perjuangan dan usaha para religius mengembangkan diri dalam kecerdasan intelektual, emosi dan spiritual. (Dimuat dalam majalah hidup no 42 Tahun ke 62, - 19 Oktober 2008)