Sudah menjadi kebiasaan dan kegemaran bagi Br. Kolaus bahwa setiap pergi ke Jawa, entah retret,cuti,liburan ataupun mengikuti berbagai macam kegiatan kongregasi, apabila hendak kembali ke komunitasnya pasti membawa oleh-oleh. Selain itu beliau lebih senang menikmati perjalanan dengan naik kapal laut berpuluh-puluh jam dan berdesak-desakan dengan penumpang yang lainnya. Demikian juga yang dilakukannya belum lama ini. Selesai menjalani retret, Br. Kolaus tinggal di Komunitas Candi. Berhari-hari Br. Kolaus mencari berbagai macam
barang dan perbekalan lainnya untuk dibawa. Berbagai macam jenis tanaman juga dikumpulkan. Alat pertukangan dibeli untuk mengganti yang sudah aus. Tak kalah pentingnya adalah merealisasikan keinginannya yang sejak lama dipendam yaitu membawa bibit ikan gurami.”Apa tidak mabok dan lenggeklenggek ikan itu jika lama berada di kapal, Der?” kataku.”Ah, sampai di Kalimantan paling juga mati?” sahut bruderku.”Lama ada di kapal, bisa-bisa ikan beranak-pinak, tu?” tambah bruder lain.”Ah, tidak. Lha wong sudah saya masukkan dalam jerigen terbuka, sehingga angin leluasa masuk. Sudah saya beri daun pepaya, sehingga tetap teduh,” kata Br. Kolaus meyakinkan para bruder yang mengejeknya. Tibalah waktu bagi Br. Kolaus meninggalkan Jawa. Saya dan dua bruder mengantar sampai di Pelabuhan Tanjung Mas. Sambil menunggu kapal merapat, kami pun saling berbagi pengalaman. Setelah sekian waktu menunggu, akhirnya pada pukul 20.00, kapal yang akan di tumpangi merapat di dermaga. Kami merangsek masuk pintu menuju ke kapal dengan membawakan barang-barang bawaan. Barang-barang yang dibawa memang luar biasa banyak, sehingga perlu tenaga ekstra untukmembawa dan mengangkat ke kapal itu. Beberapa hari kemudian, Br.Kolaus menginformasikan via telepon kalau sudah tiba di Komunitas Ketapang dengan selamat. Demikian juga bibit gurami yang dibawanya masih utuh, segar, dan sehat. Rasa puas dan bahagia merasuk dalam diri Br. Kolaus. Citacita untuk beternak ikan gurami yang didatangkan jauh-jauh dari Jawa akan segera terwujud. Ceritanya selesai? Ternyata tidak! Seorang bruder yang tinggal satu komunitas dengan Br. Kolaus gantian datang ke Semarang. Bruder ini akan mengurus keperluan lain. Di sela-sela ceritanya, muncullah cerita tentang ikan gurami yang hendak dipelihara Br. Kolaus. Kekuatan untuk bertahan hidup daribibit ikan gurami tersebut masih perlu diuji, mengingat perjalanan sampai ke komunitasnya masih jauh, terjal dan banyak tantangan. Maklumlah, Br. Kolaus tidak tinggal di komunitas kota, melainkan di daerah pedalaman, tepatnya di Tumbang Titi. Perjalanan yang membutuhkan waktu berjam-jam dari Ketapang ke Tumbang Titi ternyata mengurangi daya tahan bibit ikan yang dibawanya. Hal yang dikawatirkan oleh para bruder benar-benar terjadi. Sesaat setelah sampai di komunitas, bibit ikan gurami tersebut sudah kelihatan loyo seakan tak berdaya menghadapi alam Kalimantan. Merasa sudah tidak mungkin lagi untuk diselamatkan, ikan-ikan yang masih muda tersebut segera dipindahkan ke dapur. Dengan sedih, Br. Kolaus merelakan karyawan dapur untuk menggoreng dan dijadikan menu makan siang. Saat makan siang telah tiba. Para bruder anggota komunitas pun sudah mulai berdatangan dari tempat tugasnya di sekolah. Mengetahui ada menu makanan yang berbeda dari biasanya, mereka bergegas menyantapnya. ”Wuah, gurih amat ikannya. Ini pasti oleh-oleh dari Jawa,” komentar seorang bruder. ”Kalau tiap hari menunya seperti ini,senang saya,” tambah bruder yang lain. Tak pernah tahu apa yang berkecamuk di benak dan hati Br. Kolaus. Barangkali sedih karena cita-citanya tidak kesampaian. Sedih karena tak ada bela rasa dari sesama bruder. Atau sedih campur gembira sedikit, karena bruder sekomunitasnya merasa sangat diperhatikan. Membahagiakan sesama bruder. Itulah tujuan semula, meski tak sesuai dengan harapan. Jika bibit ikan itu bisa hidup dan nanti berkembang, hasilnya pun akan menggembirkan sesamanya. Jika sekarang bibit ikan itu gagal dipelihara dan langsung digoreng, itu pun juga telah menggembirakan sesamanya. Oh, ikan, ikan... Begitulah yang namanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Diperlukan perjuangan yang terkadang banyak mengalami hambatan, kesulitan, dan bahkan kegagalan. Bagi Br. Kolaus, yang terpenting adalah mencoba dan terus mencoba tanpa kenal lelah. Mungkin, tahun mendatang, beliau akan membawa
bibit ikan lagi.... *** ( Dimuat di majalah komunikasi FIC Desember 2007)
barang dan perbekalan lainnya untuk dibawa. Berbagai macam jenis tanaman juga dikumpulkan. Alat pertukangan dibeli untuk mengganti yang sudah aus. Tak kalah pentingnya adalah merealisasikan keinginannya yang sejak lama dipendam yaitu membawa bibit ikan gurami.”Apa tidak mabok dan lenggeklenggek ikan itu jika lama berada di kapal, Der?” kataku.”Ah, sampai di Kalimantan paling juga mati?” sahut bruderku.”Lama ada di kapal, bisa-bisa ikan beranak-pinak, tu?” tambah bruder lain.”Ah, tidak. Lha wong sudah saya masukkan dalam jerigen terbuka, sehingga angin leluasa masuk. Sudah saya beri daun pepaya, sehingga tetap teduh,” kata Br. Kolaus meyakinkan para bruder yang mengejeknya. Tibalah waktu bagi Br. Kolaus meninggalkan Jawa. Saya dan dua bruder mengantar sampai di Pelabuhan Tanjung Mas. Sambil menunggu kapal merapat, kami pun saling berbagi pengalaman. Setelah sekian waktu menunggu, akhirnya pada pukul 20.00, kapal yang akan di tumpangi merapat di dermaga. Kami merangsek masuk pintu menuju ke kapal dengan membawakan barang-barang bawaan. Barang-barang yang dibawa memang luar biasa banyak, sehingga perlu tenaga ekstra untukmembawa dan mengangkat ke kapal itu. Beberapa hari kemudian, Br.Kolaus menginformasikan via telepon kalau sudah tiba di Komunitas Ketapang dengan selamat. Demikian juga bibit gurami yang dibawanya masih utuh, segar, dan sehat. Rasa puas dan bahagia merasuk dalam diri Br. Kolaus. Citacita untuk beternak ikan gurami yang didatangkan jauh-jauh dari Jawa akan segera terwujud. Ceritanya selesai? Ternyata tidak! Seorang bruder yang tinggal satu komunitas dengan Br. Kolaus gantian datang ke Semarang. Bruder ini akan mengurus keperluan lain. Di sela-sela ceritanya, muncullah cerita tentang ikan gurami yang hendak dipelihara Br. Kolaus. Kekuatan untuk bertahan hidup daribibit ikan gurami tersebut masih perlu diuji, mengingat perjalanan sampai ke komunitasnya masih jauh, terjal dan banyak tantangan. Maklumlah, Br. Kolaus tidak tinggal di komunitas kota, melainkan di daerah pedalaman, tepatnya di Tumbang Titi. Perjalanan yang membutuhkan waktu berjam-jam dari Ketapang ke Tumbang Titi ternyata mengurangi daya tahan bibit ikan yang dibawanya. Hal yang dikawatirkan oleh para bruder benar-benar terjadi. Sesaat setelah sampai di komunitas, bibit ikan gurami tersebut sudah kelihatan loyo seakan tak berdaya menghadapi alam Kalimantan. Merasa sudah tidak mungkin lagi untuk diselamatkan, ikan-ikan yang masih muda tersebut segera dipindahkan ke dapur. Dengan sedih, Br. Kolaus merelakan karyawan dapur untuk menggoreng dan dijadikan menu makan siang. Saat makan siang telah tiba. Para bruder anggota komunitas pun sudah mulai berdatangan dari tempat tugasnya di sekolah. Mengetahui ada menu makanan yang berbeda dari biasanya, mereka bergegas menyantapnya. ”Wuah, gurih amat ikannya. Ini pasti oleh-oleh dari Jawa,” komentar seorang bruder. ”Kalau tiap hari menunya seperti ini,senang saya,” tambah bruder yang lain. Tak pernah tahu apa yang berkecamuk di benak dan hati Br. Kolaus. Barangkali sedih karena cita-citanya tidak kesampaian. Sedih karena tak ada bela rasa dari sesama bruder. Atau sedih campur gembira sedikit, karena bruder sekomunitasnya merasa sangat diperhatikan. Membahagiakan sesama bruder. Itulah tujuan semula, meski tak sesuai dengan harapan. Jika bibit ikan itu bisa hidup dan nanti berkembang, hasilnya pun akan menggembirkan sesamanya. Jika sekarang bibit ikan itu gagal dipelihara dan langsung digoreng, itu pun juga telah menggembirakan sesamanya. Oh, ikan, ikan... Begitulah yang namanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Diperlukan perjuangan yang terkadang banyak mengalami hambatan, kesulitan, dan bahkan kegagalan. Bagi Br. Kolaus, yang terpenting adalah mencoba dan terus mencoba tanpa kenal lelah. Mungkin, tahun mendatang, beliau akan membawa
bibit ikan lagi.... *** ( Dimuat di majalah komunikasi FIC Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar