Beberapa tahun bertugas di luar pulau Jawa memungkinkan tidak saling mengenal antara para bruder, terlebih bruder muda dan bruder medior/senior. Pengalaman ini terjadi ketika Br.Kuncung masih bertugas di Ketapang, Kalimantan Barat. Suatu ketika Br. Kuncung berkesempatan pulang ke Jawa. Bruder Kuncung berangkat dari Ketapang naik pesawat terbang seorang diri. Ia begitu menikmati perjalanan pertamanya dengan pesawat terbang itu. Dari atas dilihatnya samar pulau Kalimantan nan hijau. Lautan membentang luas, namun dalam hati ada rasa was-was. Perasaan itu bukan karena takut pesawat jatuh, tetapi bagaimana nanti kalau sudah sampai di Semarang. Maklumlah, pengalaman ini perjalanan pertama ke kota Semarang. Jika sudah sampai di bandara Semarang, nanti naiknya angkutan apa? Dari mana? Kira-kira pukul 11.30, pesawat mendarat di Bandara A. Yani, Semarang. Br. Kuncung bergegas turun dari pesawat dan langsung menuju tempat tunggu penumpang yang baru datang (lobi kedatangan). Dia duduk termenung dan menunggu kesempatan yang baik untuk bertanya pada petugas. Tiba-tiba Br. Kuncung dikagetkan oleh kedatangan sesosok pria berbadan tinggi tegap, berjambang, dan berkacamata. Pria itu memasuki lobi kedatangan. Br. Kuncung berpikir keras
dan mengingat-ingat orang ini. Akhirnya, dia ingat bahwa orang ini adalah seorang bruder dari Jakarta. ”Tidak salah lagi. Beliau Br. Mike,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung kemudian menghampiri untuk menolong membawakan tasnya. Akan tetapi, Br. Mike menolak sambil mempercepat langkahnya. Br. Kuncung tidak putus asa. Dia tetap berjalan di belakang Br. Mike. Mengetahui kalau masih dibuntuti, langkah Br. Mike Mike semakin cepat. Sementara itu, di luar lobi terlihat Bruder Martin yang siap menjemput bruder Mike. ”Wah, kebetulan! Bruder yang ini pasti mengenalku,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung mendekati Br. Martin. Ternyata, Br. Martin juga tidak mengenalnya. Br. Kuncung bingung. ”Gimana nih? Dengan sesama sendiri tidak kenal? Maklumlah jarang bertemu,” pikir Br. Kuncung dalam hati. Sebelum mereka pergi, Br. Kuncung cepat-cepat memperkenalkan diri. ”Maaf, Der. Saya Kuncung,” kata Br. Kuncung mengawali perkenalan. ”Kuncung? Kuncung siapa?” tanya Br. Martin. ”Anak muda ini dari tadi membuntuti saya terus,” tambah Br. Mike. ”Eh, begini, Der. Saya Kuncung dari Ketapang. Saya bruder muda yang tugas di sana,” kata Br. Kuncung agak gelagapan. ”Hmm...oh....” ”Maaf, Der. Kalau bisa saya nunut. Saya baru kali ini ke Semarang,” sambung Br. Kuncung setengah berharap. ”Saya...saya mau ke bruderan,” jawab Br. Kuncung. ”Bruderan mana?” ”Yang di bawah...! Itu...Randusari.” Akhirnya dengan setengah ragu Br. Martin mempersilakan Br. Kuncung masuk ke mobilnya. Di dalam mobil, Br. Kuncung berkesempatan untuk meyakinkan diri sebagai Bruder FIC. Dia kemudian bercerita panjang lebar mengenai Ketapang dan juga para bruder yang ada di sana. Akhirnya keraguan itu mulai sirna. Br. Mike dan Br. Martin semakin yakin kalau Br. Kuncung ini adalah salah satu Bruder FIC.
dan mengingat-ingat orang ini. Akhirnya, dia ingat bahwa orang ini adalah seorang bruder dari Jakarta. ”Tidak salah lagi. Beliau Br. Mike,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung kemudian menghampiri untuk menolong membawakan tasnya. Akan tetapi, Br. Mike menolak sambil mempercepat langkahnya. Br. Kuncung tidak putus asa. Dia tetap berjalan di belakang Br. Mike. Mengetahui kalau masih dibuntuti, langkah Br. Mike Mike semakin cepat. Sementara itu, di luar lobi terlihat Bruder Martin yang siap menjemput bruder Mike. ”Wah, kebetulan! Bruder yang ini pasti mengenalku,” pikir Br. Kuncung. Br. Kuncung mendekati Br. Martin. Ternyata, Br. Martin juga tidak mengenalnya. Br. Kuncung bingung. ”Gimana nih? Dengan sesama sendiri tidak kenal? Maklumlah jarang bertemu,” pikir Br. Kuncung dalam hati. Sebelum mereka pergi, Br. Kuncung cepat-cepat memperkenalkan diri. ”Maaf, Der. Saya Kuncung,” kata Br. Kuncung mengawali perkenalan. ”Kuncung? Kuncung siapa?” tanya Br. Martin. ”Anak muda ini dari tadi membuntuti saya terus,” tambah Br. Mike. ”Eh, begini, Der. Saya Kuncung dari Ketapang. Saya bruder muda yang tugas di sana,” kata Br. Kuncung agak gelagapan. ”Hmm...oh....” ”Maaf, Der. Kalau bisa saya nunut. Saya baru kali ini ke Semarang,” sambung Br. Kuncung setengah berharap. ”Saya...saya mau ke bruderan,” jawab Br. Kuncung. ”Bruderan mana?” ”Yang di bawah...! Itu...Randusari.” Akhirnya dengan setengah ragu Br. Martin mempersilakan Br. Kuncung masuk ke mobilnya. Di dalam mobil, Br. Kuncung berkesempatan untuk meyakinkan diri sebagai Bruder FIC. Dia kemudian bercerita panjang lebar mengenai Ketapang dan juga para bruder yang ada di sana. Akhirnya keraguan itu mulai sirna. Br. Mike dan Br. Martin semakin yakin kalau Br. Kuncung ini adalah salah satu Bruder FIC.
Br. Kuncung sangat senang mendapat tumpangan sampai di komunitas Randusari. Di dalam hatinya Br. Kuncung berbisik, ”Terima kasih Tuhan. Mereka percaya kepadaku.” *** Br. R. Koencoro BS (komunikasi FIC Oktober 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar