Jarum jam di ruang makan Komunitas Candi menunjukkan pukul 19.30.
Tidak lama kemudian,gelas dipukul oleh petugas doa hari itu. Itu pertanda,para bruder diberi kesempatan'untuk'menyampaikan informasi.”Para bruder, terima kasih sudah boleh menginap beberapa hari di sini.Malam ini saya kembali ke Jakarta,” kata Br. Kuncung, bruder tamu dari komunitas metropolitan, yang berpamitan. ”Saya akan pergi ke Jakarta bersama Br. Kuncung malam ini,” kata Br.Marphen. Pukul 20.00, ketika Br. Kuncung dan Br. Marphen sudah siap, merekapun berangkat dengan diantar olehbeberapa bruder ke stasiun. Oleh karena waktu masih longgar, para bruder pengantar setuju untuk turut menunggu keberangkatan kedua bruder itu di peron. Ketika tiba di ruang tunggu, tampak sebuah kereta yang sudah siap berangkat. Tanpa menunggu lama, Br. Kuncung dan Br. Marphen pun naik ke salah satu gerbong. Dua bruder pengantar membawakan tas mereka ke dalam gerbong. ”Mana tempat duduknya?” tanya salah satu bruder pengantar yang sudah kepayahan karena tas bawaan yang lumayan berat. ”Itu! Nomor di sana itu!” sahut Br. Kuncung. Br. Marphen yang baru kali pertama naik kereta api, hanya mengekor di belakang. Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah duduk di tempat duduk jatah mereka. Sesaat, dua bruder itu masih sempat berbincang-bincang. ”Maaf, Mas! Anda nomor berapa?” tanya dua orang penumpang laki-laki danperempuan yang baru saja masuk. ”Di sini. Ini nomor saya,” sahut Br. Kuncung sambil mengulurkan tiketnya agar dipercaya oleh dua penumpang itu. ”Wah, Mas. Mas di gerbong 8. Ini gerbong 7. Ini tempat duduk kami,” sahut laki-laki itu dengan ramah. Sesaat Br. Kuncung memeriksa tiketnya. Benar juga! Dia harus pindah tempat duduk. Terpaksalah barang yang sudah ditata di bagasi di atas tempat duduk pun diturunkan.
Begitu sudah turun dari gerbong, mata Br. Kuncung jelalatan memeriksa gerbong-gerbong yang berderet. ”Lho, kok gerbong 8 tidak ada!” ”Kemarin beli karcis untuk tanggal berapa?” ”Ya, hari ini! Lihat! Ini tiket hari ini.” ”Jangan-jangan ada perubahan jumlah gerbong dan tiketmu harus ditukar.Br. Kuncung pun mondar-mandir dari ujung ke ujung untuk memeriksa gerbonggerbong itu. Tetap saja, gerbong 8 tidak ditemukan. Br. Marphen sejak tadi hanya diam saja sambil berjalan di belakang Br. Kuncung. Merasa belum berpengalaman naik kereta api, Br. Marphen lebih memilih untuk melihat perkembangan suasana. ”Tanya saja ke petugas di kantor itu!” ”Wah, blaik! Masa jual tiket kok tidak ada keretanya!” Br. Kuncung pun menuju ke salah satu kantor petugas kereta api. Br. Marphen, demi ingin mengetahui perkembangan selanjutnya pun ikut bergegas di belakang Br. Kuncung. Begitu sampai di hadapan seorang petugas, Br. Kuncung pun melayangkan protes kerasnya. Tanpa harus takut dan merasa benar, Br. Kuncung ingin menunjukkan bahwa pihak PT. Kereta Api Indonesia telah melakukan keteledoran. Apalagi, dia sedang diikuti Br. Marphen. Tentu saja, dia ingin menjaga gengsi. Sudah biasa naik kereta api, masa kekeliruan kecil kok tidak bisa mengatasi! Mendapatkan protes dari salah satu penumpang, petugas itu pun bergegas ke luar dari kantor dan melihat ke arah kereta api. Sesekali dia menatap ke karcis Br. Kuncung yang sedang dipegangnya. Akhirnya, dengan senyum yang dikulum, petugas itu pun berkata kepada Br. Kuncung yang masih mentheng kelek (berkacak pinggang) di hadapan petugas itu. ”Maaf, Mas. Itu kereta menuju ke Bandung. Silakan tunggu, setelah kereta itu berangkat,” kata petugas itu dengan kalem. Br. Kuncung pun melongo. Sementara Br. Marphen yang berdiri di belakangnya hanya terdiam. Dengan langkah gontai, Br. Kuncung dan Br. Marphen menuju ke arah beberapa bruder pengantar yang masih setia menunggu barangnya di bangku panjang peron. Sesampainya di hadapan para bruder, dengan perasaan malu campur geli, Br. Kuncung pun menceriterakan kejadian itu. Spontan para bruder yang lain saling memberikan tanggapan. ”Cung! Kamu itu ya kelewatan. Masa sudah biasa naik kereta api, bisa-bisanya mengalami nasib sial seperti ini.” ”Biasanya aku juga tidak seperti ini.” ”Jangan-jangan karena Marphen ikut kamu. Siapa tahu dia pembawa sial.” Makin meriahlah tertawa mereka. Beberapa saat, kereta api jurusan Bandung pun berangkat.
Kereta api jurusan Jakarta yang hendak dinaiki Br. Kuncung dan Br. Marphen pun akhirnya masuk stasiun. Setelah melihat dengan pasti bahwa gerbong dan keretanya betul, kedua bruder itu pun masuk. Setelah menunggu beberapa saat, kereta pun berangkat. Para bruder pengantar, sambil masih menahan geli, berjalan ke pintu keluar untuk pulang ke komunitas. Esok paginya, Br. Kuncung memberi kabar bahwa perjalanan lancar sampai di Jakarta. ”Hanya satu yang tidak lancar. Marphen semalaman nahan kencing di kereta karena belum berani masuk toilet. Ha...ha...ha...!” kata Br. Kuncung disertai tawa melalui pesawat telepon.*** ( Br. Y.Wahyu.B) komunikasi FIC Feb 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar